KAU DATANG SAAT AKU HAMPIR TUMBANG

Cerpen Oleh: Brigita Apolinaria Seonung, S.Pd

Kabut masih mengendap di pucuk-pucuk daun, menggantung seperti bisikan rahasia yang belum sempat dibuka pagi. Burung-burung belum sepenuhnya terjaga dan suara angin masih pelan menyusup di antara sela-sela pohon tua. Di ujung jalan setapak itu, seorang anak laki-laki berjalan pelan, ranselnya menggantung lesu di bahunya yang mungil.
Namanya Raka. Siswa kelas X yang lebih senang membaca komik daripada membuka buku Biologi. Tetapi hari itu, Bu Ratna memberi tugas yang aneh:
“Temukan satu unsur alam, lalu dengarkan ia berbicara padamu.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh Bu Ratna, Raka awalnya bingung lalu dia tertawa kecil. “Hah, alam? Berbicara? Apa pohon sudah bisa mengirim chat sekarang? Apakah alam sudah memiliki alat bicara?”
Tapi karena tak mau nilainya merah, ia nekad menyusuri hutan kecil di belakang sekolah. Hutan itu tak luas, tapi masih menyimpan aroma basah tanah dan suara-suara alam yang tak dikenal manusia kota. Gemericik air dari sebuah kali kecil masih terdengar walau dalam selimut sunyi. Di sanalah ia menemukan dia, sebatang pohon besar yang tua, berdiri sendiri di tengah lapangnya rumput lebat. Kulit batangnya penuh guratan usia. Cabangnya menjulur seperti tangan bijak yang pernah memeluk banyak masa.

Raka mendekat, dan saat itu matanya menangkap selembar pengumuman yang menempel di kayu pohon:

Pohon ini akan ditebang pada tanggal 20 Mei 2025
-Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Manggarai Timur –

Pohon yang diam dan agung itu tiba-tiba terasa seperti seorang kakek yang sedang divonis hukuman mati. Raka mengulurkan tangan kecilnya dan menyentuh batang kayunya. Hangat. Tak seperti kayu mati di meja sekolah. Ada kehidupan yang masih berdetak pelan di balik lapisan kulit kerasnya itu.
Dan entah dari mana datangnya, ia mendengar sebuah suara berbisik lirih.
“Aku telah berdiri sebelum sekolahmu dibangun.”
“Saat burung-burung masih bebas bernyanyi dan terbang kesana kemari, saat manusia datang bukan untuk mengambil, tapi untuk tinggal.”
“Anak-anak dulu bermain gembira di bawah bayanganku, tertawa, jatuh, lalu belajar bangkit.”

“Tapi kini mereka datang, dengan gergaji ditangan bukan untuk mendengar ceritaku yang telah lama berdiri, tapi untuk mengakhiri rindangku.”
Raka terdiam. Hatinya seperti dipeluk hening payah yang tak pernah ia temui di layar ponsel. Ia duduk lesuh di akar pohon itu, membuka buku catatannya dan mulai menulis:
“Aku tak tahu bagaimana caranya menyelamatkanmu dari gemeretak bilah besi itu, Pohon. Tapi entah mengapa, aku merasa kau pernah menyelamatkan banyak hal. Hari ini aku datang dan untuk pertama kalinya, aku ingin mendengarkanmu.”
Hari-hari setelahnya, Raka berubah. Ia sebenarnya bukan anak paling aktif, tapi untuk kali ini, ia berani melobi ketua OSIS, meminta izin ke ruang BK, bertemu kepala sekolah untuk meminta waktu lima menit bicara di upacara hari Senin.
Ia membuat video pendek tentang si pohon tua, tentang suara burung yang makin jarang, tentang mengapa bayangan rindang lebih penting dari bangunan baru. Ia mengajak teman-temannya menulis surat untuk kepala sekolah, untuk dinas, dan untuk siapa pun yang bisa mendengar.
Petisi disebarkan. Poster-poster kecil ditempel di mading sekolah, di kantin, di ruang guru. Judulnya sederhana:

“Kami Tak Mau Kehilangan Rumah yang Diam Ini.”

Dan pada akhirnya, hari itu datang. Tanggal 20 Mei 2025. Hari penebangan.
Pagi itu, lebih dari 30 siswa berdiri mengelilingi pohon itu. Di tangan mereka, poster bertuliskan harapan:
“Dia tidak bisa lari. Tapi kami bisa berdiri.”
“Kalau semua pohon ditebang, siapa yang akan mendengarkan kami nanti?”
“Beri dia hidup, biar kami tetap bernapas.”
dan masih banyak poster lainnya.
Pak Arman, petugas dari dinas, datang dengan gergaji mesin. Tapi yang ia temukan bukanlah sebatang pohon kosong yang diam dan siap menerima sayatan gergaji, melainkan puluhan anak muda yang bersedia berdiri melindunginya.
Ia membaca surat dari Raka:
“Pak, pohon ini bukan sekadar kayu tua. Ia adalah guru. Ia mengajarkan diam yang tak menghakimi, berdiri tanpa pamrih, memberi tanpa menuntut. Jika ia tumbang, bukan hanya daun yang gugur. Tapi juga hati-hati kecil kami yang berdiri ini.”

Pak Arman menyalakan gergajinya namun sejenak terdiam. Ia menatap pohon itu lama dengan tatapan kosong namun berarti. ia sedikit membayangkan sayatan gergaji tajam mengenai kulit pohon tua itu. Angin lewat pelan, menggoyangkan daun-daunnya seolah berbisik, “Aku belum selesai.”
Ia mematikan gergajinya.
“Baiklah. Mungkin dunia butuh lebih banyak anak yang belajar mendengar, daripada orang dewasa yang terlalu cepat menebang,” katanya sambil tersenyum tipis.

Seminggu kemudian, pohon itu dipasang papan baru:

“Pohon Edukasi dan Inspirasi. Dijaga oleh Generasi yang Peduli.”

Dan di bawahnya, ukiran kecil dari logam bertuliskan:

“Kau datang saat aku hampir tumbang. Tapi hari ini, aku berdiri untukmu.”

Raka menatap pohon itu sekali lagi. Ia menaruh tangannya di batang kayu hangat yang kini terasa lebih hidup dari sebelumnya.

Kadang, kita datang saat semuanya hampir terlambat.
Tapi keajaiban alam tak butuh sempurna. Ia hanya butuh didengar dan didampingi.

***
SELAMAT HARI KEANEKARAGAMAN HAYATI
21 Mei 2025
“Nature is not a place to visit. It is home”
(Alam bukan tempat untuk dikunjungi. Ia adalah rumah)
_Gary Snyder_

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *