Oleh: Maria Janila Nana
Indonesia kerap dijuluki sebagai “Negara Megabiodiversitas” karena kekayaan keanekaragaman hayatinya yang luar biasa. Negara ini menduduki peringkat kedua dunia dalam jumlah spesies flora dan fauna, tersebar dari hutan hujan tropis Kalimantan, laut biru Raja Ampat, hingga pegunungan yang megah di Papua. Kekayaan ini bukan hanya kebanggaan, melainkan anugerah yang tak ternilai.
Namun, di balik kekayaan itu, tersimpan ironi yang menyedihkan. Kesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati masih jauh dari harapan. Alih-alih dilindungi, kekayaan alam Indonesia terus-menerus tergerus oleh keserakahan, ketidakpedulian, dan kebijakan yang sering kali kontradiktif.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di negeri yang dijuluki “Zamrud Khatulistiwa”, saya sering mendengar pujian tentang kekayaan alam Indonesia. Dalam buku pelajaran, media sosial, hingga pidato kenegaraan, keanekaragaman hayati kita disebut sebagai aset nasional yang luar biasa. Tapi pertanyaannya: sudahkah kita benar-benar menjaganya?
Data dari World Conservation Monitoring Centre menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan menjadi rumah bagi lebih dari 300.000 spesies flora dan fauna. Bahkan, sekitar 17% spesies burung dunia ada di Indonesia. Fakta ini membanggakan, namun menjadi menyedihkan ketika dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Deforestasi masih menjadi persoalan serius. Menurut Global Forest Watch, Indonesia kehilangan sekitar 10 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 hingga 2020. Padahal hutan tropis kita menjadi habitat penting bagi satwa langka seperti orang utan, harimau Sumatera, dan badak Jawa. Setiap hektar hutan yang hilang bukan hanya kehilangan angka statistik, melainkan hilangnya rumah bagi ribuan makhluk hidup yang tak bersuara.
Selain itu, perdagangan satwa liar masih merajalela. Burung kakaktua jambul kuning, trenggiling, hingga reptil eksotis lainnya dijadikan komoditas pasar gelap. Ironisnya, banyak masyarakat yang menganggap hal ini sebagai hal wajar—bahkan kebanggaan. Ini menunjukkan bahwa literasi ekologi kita masih sangat rendah.
Kebijakan pemerintah pun tak luput dari kritik. Di satu sisi, digembar-gemborkan program “Indonesia Hijau”, namun di sisi lain, izin tambang justru diberikan di kawasan konservasi. Pendekatan pembangunan yang mengejar keuntungan jangka pendek masih lebih dominan daripada pembangunan berkelanjutan. Retorika sering terdengar megah, tapi aksi nyata sering kali minim.
Sebagai warga negara, saya merasa prihatin. Kita sering membanggakan kekayaan hayati yang kita miliki, tetapi belum cukup bertanggung jawab untuk menjaganya. Kekayaan alam yang terus-menerus dipamerkan dalam data dan promosi wisata akan menjadi sia-sia jika kita membiarkannya rusak tanpa upaya serius untuk melestarikannya.
Indonesia memang kaya akan keanekaragaman hayati—dan itu adalah anugerah. Tapi anugerah ini bisa berubah menjadi krisis jika kita terus abai. Sudah saatnya kita tidak hanya memuji kekayaan alam, tetapi juga mengambil peran aktif dalam menjaganya.
Diperlukan keberanian untuk mengakui bahwa selama ini kita belum benar-benar menjaga rumah kita sendiri. Ini bukan sekadar ajakan untuk berubah, melainkan refleksi bahwa keanekaragaman hayati bukan hanya data atau angka. Ia adalah kehidupan, dan kehidupan itu bergantung pada pilihan kita hari ini.
